Project S TikTok vs UMKM: Siapa yang Akan Menang?
TikTok Tidak Hanya Sekedar Media Sosial
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa TikTok adalah media sosial paling diminati oleh masyarakat Indonesia. Dengan format video vertikal-nya memberikan pengalaman baru dalam menikmati hiburan melalui sosial media. TikTok tidak hanya memberikan entertainment value saja kepada penggunannya, melainkan juga financial value melalui tren Shoppertainment yang mereka hadirkan. Shoppertainment adalah sebuah sistem perdagangan melalui fitur TikTok Shop dengan memanfaatkan konten kreatif yang mengutamakan entertainment dan education, sehingga menciptakan pengalaman berbelanja baru yang unik. Tren ini mempermudah pelaku usaha dalam mengintegrasikan konten serta komunitas peminat mereka.
Tren yang dibawa seakan meringkas digital customer journey yang biasanya dilakukan dalam beberapa platform yang berbeda (e-commerce dan media sosial), menjadi hanya 1 platform saja (media sosial). Oleh karena itu TikTok sekarang mengambil peran baru menjadi sebuah platfrom Social Commerce.
Social Commerce merupakan perdagangan digital yang melibatkan media sosial melalui konten interaktif, sehingga seluruh pengalaman berbelanja terpenuhi dalam satu platfom media sosial tersebut.
Menurut survei yang dilakukan Cube Asia, kini tercatat sekitar 85% konsumen TikTok Shop mulai mengurangi pengeluaran mereka pada platform e-commerce lain dan mengalihkan budgetnya ke TikTok Shop. Migrasi pengguna terbanyak terdapat pada platform Shopee dengan 51%. Fakta ini mengindekasikan bawah TikTok berhasil memberikan efisiensi yang memudahkan penggunannya untuk berinteraksi dan bertransaksi dalam satu platform yang sama.
Memanfaatkan Celah Sempit Regulasi
Lantas apa yang perlu dikhawatirkan dengan hal tersebut?
Belakangan ini muncul ketakutan dari pihak pemerintah akan pengawasan TikTok sebagai social commerce yang dinilai berada di luar radar regulasi. Posisi TikTok sangat “menggantung” dalam regulasi negara kita, sehingga tidak bisa dikategorikan mutlak sebagai e-commerce. Menurut Bhima Yudhistira selaku Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) sepatutnya social commerce dapat didefinisikan dalam Perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), sehingga mengikuti relugasi yang sama dengan e-commerce lainnya. Selama ini hal itu tidak terjadi, TikTok tidak membayar pajak sebagaimana yang dilakukan oleh e-commerce lain, oleh karena itu timbul persaingan yang jauh dari kata adil. Mengingat TikTok terus mengkikis pengguna aktif dari e-commerce lain.
Dengan mendefinisikan social commerce sebagai PMSE akan menghindari munculnya persaingan Predatory Pricing, yang menjadi ancaman besar. TikTok akan mematuhi harga eceran tertinggi (HET) dari ketetapan beberapa produk. Pada intinya hal ini akan membantu pemerintah dalam mengawasi aktivitas transaksi dalam platform TikTok, sehingga mencegah tindakan ilegal terjadi di dalamnya.
Project S : Monster Besar yang Mencoba Melahap Semuanya
Apakah ketakutan hanya berenti disitu saja?. Jelas tidak. Baru-baru ini TikTok mengeluarkan rencana project S yang dipercaya akan menjadi mesin kapitalis baru yang siap mematikan UMKM. Dalam Project S, TikTok tidak hanya berperan sebagai distributor pemasaran saja melainkan sebagai produsen barang yang akan mereka jual dalam platfrom-nya. Mereka akan memproduksi barang sesuai dengan tren yang sedang viral pada aplikasi TikTok.
Project ini memberikan spekulasi bahwa TikTok dapat memainkan algortima platfromnya untuk menaikan konten mereka sendiri, sehingga produk yang dijual dapat menjangkau pengguna seluas-luasnya. Selain itu sebagai pemilik aplikasi, TikTok dapat memanipulasi market dengan cara mempelajari insight dari produk yang sedang tren dan memproduksinya sendiri dengan skala yang lebih besar dan harga yang lebih rendah.
Coba bayangkan anda memiliki inovasi brilian dalam produk anda, dan mulai memasarkannya pada platform TikTok. Karena produk anda unik dan relevan dengan permasalahan yang dihadapi audience, sehingga mengundang traffic dan nilai pembelian yang tinggi. Namun anda memiliki keterbatasan modal untuk memproduksi lebih produk tersebut. Dalam skenario Project S, TikTok dapat mempelajari insight dan traffic dari produk anda, kemudian memproduksi barang serupa dengan skala masif dan menetapkannya dibawah harga pasar. Menakutkan bukan?. TikTok dapat dengan mudah mencuri ide produk anda.
TikTok sudah mencoba skema ini dalam fitur yang sederhana yaitu Trendy Beat, yang hanya bisa diakses pada region UK saja. Trendy Beat menampilkan beberapa produk mulai dari pengekstrak kotoran telinga sampai pembersih pakaian dari bulu hewan peliharaan. Kejanggalan mulai terlihat ketika mengetahui perusahaan yang memproduksi barang-barang tersebut terdaftar di Singapura atas nama Seitu, merupakan anak perusahaan dari Byte Dance yang bermarkas di Beijing, China.
Iya betul, ByteDance merupakan perusahaan yang menaungin platform TikTok.
Conclusion
Selama ini TikTok memang sudah menciptakan banyak peluang bagi penggunannya dengan memberikan entertainment value dan financial value. Tercatat hingga blog ini ditulis pengguna TikTok telah menghabiskan lebih dari $7 billions. Dengan angka yang fantastis tersebut, menjadi alasan bagi TikTok untuk kembali melebaran sayapnya dengan berinovasi untuk tidak hanya sekedar menjadi distributor pemasaran saja, melainkan memproduksi barang mereka sendiri melalui Project S. Hal ini memberikan kekhawatiran akan mati UMKM karena tidak mampu bersaing dengan market yang telah dimanipulasi tersebut. Pada intinya jawaban yang tepat atas ketakutan ini adalah penetapan regulasi yang jelas. Sekarang posisi TikTok sebagai social commerce masih abu-abu, sehingga di luar radar regulasi yang telah ditetapkan. Dimulai dengan memasukan TikTok ke dalam kategori Perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), akan membuat TikTok berada di bawah pengawasan pemerintah.